Pengangguran Tercekik Pandemi

Oleh: Nuruddin Zain, ASN di BPS Kota Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - SUDAH lewat satu tahun pandemi atau pagebluk Covid-19 menimpa bangsa Indonesia. Sejak diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, sebagai kasus pertama Covid-19 di tanah air, maka pada bulan Juli ini sudah hampir 17 bulan pagebluk Covid-19 telah menimpa bangsa kita. Sampai tanggal 7 Juli 2021 pemerintah melalui situs resmi covid19.go.id mengumumkan jumlah yang positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 2.379.397 jiwa.

Banyak hal yang terimbas adanya pandemi, tak terkecuali pengangguran. Terimpit dan terjepit serta tercekik situasi yang terjadi karena adanya pandemi. Dalam bayangan kita semua tentu saja pengangguran akan bertambah banyak di saat terjadi pagebluk ini. Pemerintah telah melakukan pembatasan-pembatasan pergerakan manusia, baik dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau ?Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro untuk menekan laju penyebaran Covid-19.

Kondisi pembatasan ini kemungkinan akan berakibat berkurangnya permintaan dan penawaran yang akan diikuti adanya pengurangan jumlah produksi, dan akhirnya akan menyebabkan terjadinya PHK. Itu gambaran awal yang kemungkinan akan kita pikirkan terjadi. Namun apakah pemikiran tersebut benar adanya? Dari data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statisik (BPS) kita bisa mendapatkan jawabannya.

Berdasarkan hasil pelaksanaan Sakernas yang dilaksanakan pada Agustus 2020 dan Februari 2021 didapatkan data terkait dampak pandemi pada dinamika ketenagakerjaan. Informasi tersebut didapatkan dari berita resmi statistik (BRS) di tautan kalsel.bps.go.id, Di BRS tersebut didapatkan juga indikator utama yaitu tingkat pengangguran terbuka (TPT). Dengan indikator TPT ini kita akan mendapatkan gambaran besarnya angka pengangguran.

Angka pengangguran di Kalsel pada Agustus 2020 (lima bulan setelah kasus pertama diumumkan oleh Presiden Jokowi) tidak jauh berbeda dengan kondisi Februari 2020. Angka pengangguran Kalsel pada Agustus 2020 adalah sebesar 4,74 persen. Sedangkan pada Februari 2020 adalah sebesar 3,80 persen. Dari angka pengangguran tersebut penjelasannya adalah dari 1.000 orang angkatan kerja (penduduk usia kerja 15 tahun ke atas yang bekerja dan mencari kerja) maka ada sebanyak 38 orang yang mencari pekerjaan atau menganggur di Februari 2020 dan 47 orang pada Agustus 2020.

Bila dibandingkan dengan angka pengangguran Februari 2021 yang sebesar 4,33 persen (ketika puncak gelombang Covid-19 pertama terjadi setelah adanya Natal dan tahun baru), maka peningkatan angka pengangguran Februari 2020-Februari 2021 yang terjadi malah tidak terlalu signifikan, yakni hanya mengalami kenaikan sebesar 0,53 poin persen. Sedangkan apabila dibandingkan dengan pengangguran di enam bulan yang lalu (Agustus 2020-Februari 2021) kondisi yang terjadi malah turun 0,41 poin persen.

Dari kondisi ini tentu kita akan berpikiran bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pagebluk ini terhadap pengangguran ini tidak begitu nyata. Apakah memang demikian? Seharusnya pagebluk ini memberikan dampak yang sangat negatif dengan bertambahnya pengangguran. Untungnya dalam Sakernas juga disisipkan pertanyaan untuk menggali penduduk yang terdampak pagebluk ini.

Kondisinya dapat dilihat dari 4 (empat) komponen yaitu a) Pengangguran karena pandemi; b) Bukan angkatan kerja yang pernah berhenti bekerja pada Februari-Agustus 2020 karena pandemi; c) Penduduk yang bekerja dengan status sementara tidak bekerja karena pandemi; dan d) Penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena pandemi.

Pada Agustus 2020 dari penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) di Kalsel yang mencapai 3,15 juta jiwa, terdapat 12,68 persen yang terdampak Covid-19. Bila dikaitkan dengan yang bekerja adalah tulang punggung keluarga, yang menanggung hidup rumah tangga mereka dengan satu istri dan dua anak (rata-rata anggota rumah tangga di Kalimantan Selatan tahun 2020 berdasarkan data BPS adalah 3,72 orang), maka angka yang terdampak pagebluk yang sebesar 12,68 persen tersebut semestinya adalah hampir empat kali lipatnya. Akan terlihat bahwa nyaris setengah penduduk Kalsel terdampak ekonominya karena pagebluk. Terlihat dampak pagebluk pada bidang ketenagakerjaan lebih besar daripada hanya sekadar melihat angka pengangguran yang terjadi.

Hasil pengukuran di bulan Agustus 2020 menunjukkan pengurangan jam kerja adalah dampak Covid-19 yang paling dominan dirasakan penduduk usia kerja, yakni sebanyak 83,14 persen dari penduduk usia kerja yang mengalami dampak Covid-19. Sisanya adalah sementara tidak bekerja karena dampak Covid-19 (7,10 persen), pengangguran karena dampak Covid-19 (6,93 persen) dan terakhir menjadi bukan angkatan kerja seperti mereka yang beralih menjadi mengurus rumah tangga akibat terdampak Covid-19 (2,83 persen).

Kondisi pada Februari 2021 setelah kurang lebih setahun terjadinya pagebluk menunjukkan adanya penurunan penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Pada Februari 2021 dari penduduk usia kerja yang mencapai 3,18 juta, terdapat 7,80 persen yang terdampak Covid-19. Dengan kondisi ini maka ada penurunan usia kerja yang terdampak pandemi (4,88 poin persen dari Agustus 2020-Februari 2021). Pengukuran di Februari 2021 masih menunjukkan bahwa pengurangan jam kerja karena dampak Covid-19 masih menjadi yang paling dominan dirasakan penduduk usia kerja, yaitu 84,69 persen. Sedangkan pengangguran karena dampak covid-19 terjadi pada sebanyak 5,16 persen penduduk usia kerja mengalami dampak pandemi.

Dengan melihat kondisi penurunan penduduk usia kerja yang terdampak pandemi dari Agustus 2020 ke Februari 2021 maka terlihat secercah harapan akan adanya perbaikan di bidang ketenagakerjaan pada masa mendatang. Namun dalam beberapa waktu terakhir perkembangan pagebluk semakin meningkat secara eksponensial. Tentu saja ini memberikan dampak negatif kembali pada penduduk usia kerja yang terdampak pandemi.

Dengan melihat kondisi selama pandemi yang tidak terlalu berpengaruh terhadap naiknya angka pengangguran, maka menunjukkan kepada kita bahwa ada atau tidak adanya pandemi tetap memaksa masyarakat yang termasuk angkatan kerja untuk tetap bekerja. Kemungkinan penyebabnya karena masih belum adanya jaminan yang diberikan negara terhadap pengangguran, yang membuat para angkatan kerja harus tetap bekerja meski bertarung risiko terpapar virus Covid-19. Pada akhirnya pilihan untuk tetap bekerja meski dengan pengurangan jam kerja di saat pagebluk ini merupakan jalan tengah yang mesti dilakukan agar dapur tetap dapat “berasap”. (*)

0 Response to "Pengangguran Tercekik Pandemi"

Post a Comment