OPINI Beni Setia Sungai dan Kita

Oleh Beni Setia

Pengarang dan Sastrawan

SAAT seorang kawan penyair kelahiran dan besar di Yogyakarta, berpergian ke Kalimantan Selatan, dan termenung (melihat) titik pertemuan dua sungai serta membentuk satu alur sungai besar, yang gigantis, serta ia tergerak menulis sebuah puisi. Lepas dari semua itu, puisi yang ditulis itu merujuk pada:

(1) dua arus deras sungai itu membentuk suatu arus memutar--orang Jawa menyebut tempat itu tempuran, yang dianggap daerah wingit, dan (sering) dipakai seseorang bertapa kungkum, serta mendapat petunjuk gaib.

(2) Wujud arus deras memutar itu diperlihatkan dengan iringan daun hanyut yang terus berputar, dan

(3) di kedalaman putaran itu bermukim buaya lapar, yang merasa mendapat tempat ideal, buat memangsa apa-pun yang terperangkap ulekan,

(4) kegamangan serta kengerian personal si penyair, ketika ia melihat ulekan itu--diasumsikannya sebagai mulut menganga buaya yang rakus.

Sedang di luar renungan subyektif itu--: sudah banyak orang yang tak begitu bereaksi begitu lagi, mungkin karena mulai tertanamnya anggapan sekuler, bahwa tempat itu tidak se-mengerikan asumsi penyair.

Mungkin juga asumsi sekuler itu telah merubah anggapan, bahwa sungai ”tempat jin buang anak” bahkan merupakan muara dan rawa-rawa di tanah relatif datar, yang di waktu pasang naik akan dihuni siluman dan jin, seperti asumsi Rawa Lakbok di Ciamais, Jawa Barat, yang dulu dianggap kerajan siluman, dan jadi tempat yang hanya pantas untuk buang sampah.

Membelakangi sungai

0 Response to "OPINI Beni Setia Sungai dan Kita"

Post a Comment